Dibawah sebuah bukit tinggallah seorang petani miskin. Suatu ketika ia mencari-cari mata air dipunggung bukit itu. Setelah menemukan suatu mata air, maka ia berencana menggali dan ingin memperbesar mata air itu untuk menjadi sumber pengairan lahan pertaniannya.
Ketika si petani itu menggali dan memperbesar mata air
itu, maka mulailah airnya mengalir dengan deras. Tak lama kemudian, tiba-tiba
air itu mengucurkan serbuk emas. Maka terperanjatlah si petani itu melihat
kejadian itu.
Lalu
dia mengambil beberapa tempayan yang ada dirumahnya, setelah penuh diangkutlah
kedalam rumahnya. Sesudah tempayan-tempayan itu penuh, lalu dia mengumpulkan
segala peralatan yang ada dirumahnya yang bisa diisi dengan serbuk mas
tersebut. Setelah semua peralatan yang ada dirumahnya penuh, lalu dia meminjam
beberapa tong besar kepada tentangganya. Setelah tong-tong yang besar itu
diisi, maka penuhlah rumahnya yang sangat kecil itu dan tidak ada lagi tempat
yang kosong.
Mata air itu masih terus mengucurkan serbuk emas itu
dengan deras, sementara petani itu tidak punya tempat lagi dirumah itu untuk menampungnya.
Maka dia membuat suatu bak besar penampungan disamping rumahnya, lalu dia
mengalirkan mata air itu kedalam bak penampungan itu. Semua sudah penuh tapi
dia masih merasa kurang, mata air itu dibiarkan terus mengalir, maka jebollah
bak penampungan lalu menimpa rumahnya dan petani itupun mati tertimpa reruntuhan
rumahnya.
Begitulah manusia seringkali tidak pernah
merasa cukup seberapa banyakpun yang sudah dia peroleh. Ingatlah bahwa, “Sedikit bisa Cukup, Banyak bisa Kurang”, tergantung pada sikap kita
menerima.
No comments:
Post a Comment